Urip, urip mung sedela,
Mampir ngombe,
Bayar utang,
Utang rasa nang
kancane..
Itu merupakan penggalan lirik
lagu dari Sujiwo Tejo yang berjudul Utang Rasa. Sebenarnya apa maksud dari “Utang
Rasa” yang tulis oleh Sujiwo Tejo ? Lalu apa hubungannya dengan kehidupan
? Apakah utang itu bisa dibayar ? Banyak pertanyaan yang muncul untuk memaknai
utang rasa dalam kehidupan. Aku mencoba merangkumnya melalui tulisan ini, yang tentunya
masih banyak kurangnya.
Pertama kali mendengar lagu ini,
aku awalnya biasa saja. Hanya sebuah lagu yang bercerita tentang kehidupan
seperti pada umumnya. Namun lama-lama aku mulai terngiang-ngiang dengan lirik
dan nadanya. “Urip, urip mung sedela mampir ngombe”, liriknya cukup singkat,
tapi penuh makna. Aku mulai tertarik untuk mendalami lagu tersebut, rasanya
setiap liriknya adalah pesan kehidupan, nasihat, dan kebenaran.
Lalu suatu waktu, aku melihat Mbah
Sujiwo Tejo mengetweet tentang ucapan bela sungkawa kepada rekannya selalu
menyertakan #utangrasa. Dari sini aku teringat lirik lagu tersebut, “Utang
rasa nang kancane”. Sedalam itu maknanya. Lirik itu tidak hanya bercerita
tentang kehidupan, bahkan setelah kematian pun akan diingat. Terkadang kita
tidak merasakan rasa kehilangan itu sebelum kehilangan itu sendiri datang menyapa.
Dalam hidup ini, tentunya kita
tidak bisa melewatinya sendirian. Banyak peran orang lain yang tanpa kita
sadari telah membantu dalam melewati berbagai cobaan hidup. Namun apa yang
telah kita berikan pada mereka ? Mungkin hanya sekadar ucapan “terima kasih”
yang kita berikan atas kebaikan-kebaikan orang yang telah membantu. Aku beropini
disinilah maksud dari “Utang Rasa” tersebut.
Yang aku bayar pada dokter hanya
keahliannya, perasaanku ketika ia sembuhkan tak bisa kubayar, itulah utang
rasa. Yang aku bayar pada tukang pecel hanyalah biaya produksi, waktu dan
tenaganya. Rasaku ketika makan pecel dan berbagai sensasinya tak terbayar,
itulah utang rasa. Pun demikian ketika kubeli CD music Chrisye dll.. rasa music
mereka jejakkan di batinku tak terbayar. Itulah utang rasa. Sungguh hidup adalah
tali-temali. Utang rasa bagi siapa pun yang perasaanya masih bekerja. Itulah cuitan
Sujiwo Tejo tentang Utang Rasa.
Memang sejatinya utang rasa tidak
akan pernah terbayar. Nominal berapapun rasanya tidak akan cukup untuk
membayarnya. Apalagi utang rasa kepada kedua orang tua kita, yang telah
memberikan segalanya untuk kita, waktunya, tenaganya, finansial dan morilnya,
tidak akan pernah habis mereka curahkan kepada kita. Bahkan tanpa kita minta,
mereka selalu memberinya utuh, penuh dan sungguh. Orang tua selalu berharap
yang terbaik kepada buah hatinya, tidak ingin anaknya mengalami kesulitan dan
kegagalan dalam hidup. Namun apakah kita mampu membalasnya ?
Ketika aku berkumpul dengan
teman-teman, aku tidak bisa membalas waktu yang telah mereka luangkan untuk
bertemu. Ketika aku belajar dengan guru atau dosen, aku tidak bisa membalas
waktu dan ilmu yang telah mereka berikan. Dengan mantan kekasih pun, aku
tidak bisa membalas semua yang telah diberikan. Bahkan dengan hewan peliharaan, seperti kucingku yang telah pergi, utang rasaku padamu begitu banyak, terima kasih telah menemani dalam suka ataupun duka. Utang rasa ini begitu lekat
dengan kehidupan. “Ra kebayar utang rasaku. Sing tak bayar among pikiran lan
tenagane. Ra kebayar utang utang rasaku. Sing tak bayar mung wektu pikiran lan
otote.”
Kepada siapa pun yang pernah aku temui,
aku berhutang rasa padamu. Mungkin aku belum mampu memberikan cerita terbaik
dalam kehidupanmu. Terima kasih telah memberi arti dalam kehidupan ini. Utang
rasa ini pasti akan kuingat, kusimpan sampai nanti.. #utangrasa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar